Apa yang bisa kita lakukan jika dihadapkan pada pilihan tanpa pilihan?

Apa yang bisa kita lakukan jika dihadapkan pada pilihan tanpa pilihan?

Hari itu harus kembali ke Jakarta menggunakan satu-satunya maskapai berjadwal yang kadang jadwalnya tdk sesuai jadwal. Tercetak di tiket penerbangan jam 12.30-13.55 WIB. Lalu tiba-tiba saat di jalan ada SMS masuk memberitahukan pengunduran jadwal ke 15.00 WIB karena alasan operasional. Dan kami benar-benar take off pada pukul 17.00 WIB.

“Saya dengar tadi dari petugas bandara, keterlambatan ini karena harus ganti pesawat, Mas. Pesawat yang harusnya kita gunakan mengalami ketidaknormalan.” Pria di samping saya tiba-tiba membuka percakapan.

“Alhamdulilah.. Ini lebih baik daripada terjadi sesuatu yang tidak baik siaat penerbangan nanti.” Balas saya spontan sambil sedikit berbalik badan mengarah kepada beliau.

“Iya, saya cukup trauma dengan musibah Lion Air kemarin, Mas. Walaupun saya bukan penumpangnya tapi saya sempet bersama-sama mereka pada saat check ini dan menunggu di ruang tunggu.”

“Waduuh… gimana tuh ceritanya, Pak?”

“Masih kebayang beberapa diantara mereka, Mas. Ada sepasang suami istri yang harus meninggalkan anak-anaknya di rumah karena pekerjaan mereka di Pangkal Pinang. Ada anak muda yang masih kikuk karena ternyata baru sekali ini naik pesawat. Bahkan saya sempat ngobrol lama dengan seorang Ibu yang harus bekerja begitu jauh karena sudah menjadi single parent.” Lanjut beliau.

Saya hanya bisa menghela nafas membayangkan situasi saat itu yang sejatinya normal-normal saja jika tidak terjadi kecelakaan.

“Kebayang kan, Mas. Sesungguhnya mereka pada saat itu sedang antri menuju ajalnya masing-masing. Mereka sedang mendekat ke arah suratan takdir bahwa hanya dalam hitungan menit  mereka akan menghadap Sang Pemiliki Hidup. Apakah diantara mereka ada yang tahu? Adakah sanak famili atau anggota keluarganya yang sadar bahwa mereka akan kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya? Entahlah. Saya jadi takut, Mas.”

“Apa yang harus kita takutkan, Pak. Bukankah kematian itu hal yang pasti?”

“Memang tidak perlu takut mati. Takut atau tidak, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, mati itu pasti adanya. Yang perlu kita takutkan itu adalah mati dalam kondisi bagaimana dan apa yang kita bawa sebagai bekal ke ‘sana’ nanti.” Sejenak kami cuma  mampu menarik nafas yang entah kapan akan dihembuskan untuk terakhir kalinya.

“Apalagi kalo merenungi kondisi saat ini, Mas. Kondisi dimana tidak mudah untuk memilih dan memilah mana yang benar diantara yang samar. Ketika kebenaran berusaha untuk ditenggelamkan oleh kemungkaran yang dihembuskan secara masif sehingga menjadi terlihat benar. Lalu dengan cara apa kita bisa memilih secara tepat?” tanyanya.

“Maksudnya gimana, Pak?”

“Coba tanya pada dirimu sendiri. Dimana posisi hatimu saat simbol-simbol Ketuhananmu dijadikan ‘permainan’? Dimana posisi hatimu saat misalnya homosexual atau lesbian itu hanya disejajarkan dengan sesuatu yang membuat tubuh kita jadi alergi? Atau misalnya perzinahan itu dianggap hanya sekedar kutil yang bisa disembuhkan dengan obat generik seharga ratusan rupiah? Lha, ini kan sekarang terang benderang ada di depan mata kita. Lalu hati kita terusik pun tidak, apalagi tergerak untuk melawannya karena tersamarkan oleh kebenaran-kebenaran palsu yang dihujamkan secara membabi buta.”

Saya tercenung dan bersyukur pesawat kami tidak terbang sesuai jadwal.

“Lebih menyakitkan lagi, Mas. Itu semua terjadi pada orang-orang dekat kita. Bisa sahabat, bisa teman, bisa kolega yang kita hormati atau jangan-jangan justru anggota keluarga kita sendiri. Kita bisa beda pandangan pada keyakinan yang sama. Bisa beda pendapat pada kepercayaan yang sama. Lalu, akhirnya walaupun raga kita berdampingan tapi jiwa kita terpisah jauh dari kebenaran hakiki.” Hening.

“Sanggup menghadapNya jika ‘panggilan’ itu tiba? Ajal tidak pernah menunggu kita siap lho, Mas. Dia bisa kapanpun dan dimanapun tiba-tiba menjemput kita. Mau nawar? Nolak? Minta diundur? Minta tambahan waktu?”

Jam di tangan menunjukan angka 16.40 ketika kami antri masuk ke pesawat. Akankah ini berbaris menuju takdirMu ya Allah?

Duhai Pemilik waktu dari arusMu usiaku terlahir dan mengalir pada muara mautMu, aku berakhir dan menyerah.

Comments